Malam merayap perlahan. Bulan diselimuti awan hitam. Sedikit cahaya yang terpantul ke Bumi. Angin menerbangkan daun-daun kering. Dingin merambati permukaan kulit. Dinda melirik arloji di pergelangan tangannya 22.30 WIB hamper tengah malam. Sepi sekali malam ini. Sudah seminggu ini Dinda mengikuti kelas malam. Dia ingin mengejar ketinggalannya. Ada dua mata kuliah yang harus diulang, kalau semester ini mau lulus atau dia harus mengulangnya pada semester berikutnya. Dinda mulai memikirkan hal-hal yang menyeramkan. Apalagi kalau ingat dengan cerita teman-teman siang tadi.
Bulu-bulu harus disekujur tubuhnya meremang,mengingat cerita tentang Vampir yang sering berkeliaran di tengah malam untuk mencari setetes darah segar. Padahal, tadi siang Dinda jadi satu-satunya orang yang paling gak percaya dengan gossip yang lagi santer beredar di lingkungan kampusnya. Dia jd menyesal sudah menolak tawaran Pak Heri dosen akuntansinya yang menawarkan jasa untuk mengantarnya pulang ke rumah.
“ Vampir adanya kan di Eropa sama di Negara Cina. Jadi gak masuk akal kalau dia berkeliaran di Jakarta. Kalau pocong baru percaya!” kata Dinda ngotot tak percaya. “Emang ada aturannya yang melarang vampire berkeliaran di Jakarta?” Fia gak mau kalah. “Bener lho Din! Dua malam yang lalu waktu pulang dari mall aku dikuntit sama cowok bertampang indo. Cowok itu mengenakan jubah hitam persis yang dipakai para vampire.” Nina menceritakan pengalamannya.
“Ala…paling-paling cuma cowo yang pengen ngajak kenalan.” “Tampangnya ganteng gak sih?” Fia tersenyum genit. “Tampangnya sih keren. Beda-beda tipis sama Tom Cruise.” “Kenapa gak kamu sosor saja Nin?” “Boro-boro nyosor Fi,ngeliat mukanya yang pucat dan tatapannya yang mengerikan aku langsung ambil jurus langkah seribu.alias kabur?” “Dia gak ngikutin lagi?” Tanya Dinda. Nina menggelengkan kepala. “Mungkin dia tau kalau darah kamu pahit…,” ledek Dinda dan disusul tawa riuh teman-temannya.
“Rese kalian moga-moga saja nanti malam kalian didatengin sama vampire,” doa Nina. “Aku gak bakalan takut! Kalau vampire itu sampai nyatronin aku,bakalan aku ajakin kencan,” kata Dinda penuh kesombongan. “Jangan takabur Non! Fia mengingatkan. Tapi kenyataannya, malam ini Dinda termakan oleh kesombongannya sendiri untuk mengusir rasa takut, Dinda memasang walkman keras-keras. Dia berjalan seirama dengan hentak music rock. Mulutnya komat kamit melantunkan lirik lagu. Dengan begitu dia bias sedikit mengabaikan rasa takutnya. Lupa kalau dia sedang berjalan seorang diri di kegelapan menuju halte bus yang lumayan jauh.
Lagu yang dia dengarkan hamper selesai. Di jeda antara lagu berikutnya, telinga Dinda menangkap suara teriakan. Dinda melepaskan headphone. Memasang telinga tajam. Pandangannya berkeliling tak ada siapa pun. Mungkin hanya akumulasi dari perasaan takutnya. Dinda melanjutkan langkahnya. Matanya menyebar pandangan sekeliling, waspada. Baru beberapa langkah berjalan, dia mendengar suara itu lagi. Kali ini tanpa earphone menyumpal lubang telinganya. Dia yakin sekali, itu suara seorang wanita yang teriakan minta tolong. Dinda berhenti sejenak, mengamati sekitar. Teriakan itu semakin jelas terdengar. Tak jauh dari tempat itu. Matanya terbuka lebar, telinganya tegak. Teriakan minta tolong terus mengikutinya.
Persimpangan jalan sudah terlihat. Dia memutuskan untuk berlari lebih cepat lagi. Teriakan itu semakinkeras terdengar. Ketika sampai di persimpangan jalan, Dinda berbelok ke kanan menuju halte bus yang hanya beberapa meter saja. Tapi langkahnya segera terhenti, ketika matanya dipaksa untuk melihat pemandangan di seberang jalan yang membuat tubuhnya kaku. Jerit tertahan di tenggorokannya. Dua sosok manusia berdiri di seberang jalan. Tepat dibawah sorot lampu jalanan. Perempuan itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari dekapan lelaki berjubah hitam. Si perempuan menjerit hebat lalu lelaki bertampang indo melepaskannya. Membiarkan tubuhnya meluncur deras ke aspal jalanan. Dinda melihat jelas darah dari leher perempuan itu. Dia segera tahu apa yang baru saja berlangsung di depannya. Dia hanya bisa berdiri memandang ketakutan. Nalurinya mengajak untuk segera berlari. Tapi kakinya tak mau di gerakkan.
Perasaan takut membuatnya sulit untuk bergerak. Lelaki bertampang indo yang mengenakan jubah hitam, menatap dinda. Matanya merah menyala, mulutnya penuh dengan darah. Dinda tak dapat beranjak dari tempatnya berdiri. Tatapan jahat lelaki itu seperti menguncinya. Dia mulai menangis ketakutan. Apalagi ketika lelaki berjubah hitam mulai melangkah ke arahnya, menyeringai. Mempertontonkan taring-taringnya yang runcing. Toloooongngg!!! Dinda menjerit histeris. Persis jeritan yang dia dengar tadi.
Jeritan wanita yang kini tergeletak kaku di atas aspal jalana. Kelumpuhannya lepas ketika dia mendengar klakson kendaraan, sebuah motor berhenti di depannya. Lho kamu belum pulang Din? Tanya pengendara yang tak lain adalah Pak Heri dosen akuntansinya. Dinda langsung melompat keboncengan. “Cepetan jalan, Pak??? Tanpa banyak Tanya, Pak Heri langsung tancap gas. Motor tua keluaran tahun 65 miliknya, ngacir meninggalkan kepulan asap yang tebal. Dinda menoleh kebelakang. Pria berjubah hitam sudah tidak ada disana.
Penasaran, dia menoleh lagi untuk memastikan. Tak ada siapapun kecuali seorang wanita tergeletak bersimpah darah di sekitar lehernya. “Ada apa Din? Kau seperti sedang di kejar hantu,” Pak Heri bertanya, tanpa menolehkan kepalanya. “Bapak tidak melihat lelaki berjubah hiatam tadi?!” “Saya gak melihat siapapun, kecuali kamu.” “Vampir, pak….” Nafasnya tersengal,”saya melihatnya menghisap darah seorang wanita!”
“Vampir?” “Iya… vampire!” pak dosen menghentikan motornya. Kenapa berhenti pak? Pak Heri menoleh kebelakang Dinda. Mentap Dinda tajam. Wajahnya pucat. Matanya merah menyala. Taringnya meruncing. “Vampiiir..!!!” lalu menit berikutnya, seperti seeokor singa yang lapar, dia menghujamkan taring-taringnya yang runcing ke leher Dinda. “Aaaaaaakkhhh….!!!” Dinda membuka mata, melihat sekeliling ruang, menyakinkan kejadian tadi hanya berlangsung di alam mimpinya.
Nafasnya masinh terengah-engah. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Dia masih berada di ruang kelasnya. Sepi, tak sepotong tubuh pun yang tinggal di sana. Semua teman-temannya sudah pulang. Rupanya Dinda tertidur di kelas. Uh kenapa gak di bangunin sih? Dinda membenahi bukunya. Menyelempangkan tas di pundak, melangkah keluar ruang kuliah. Berdiri di ambang pintu, menengok kekanan dan kekiri. Benar-benar sepi. Tak dilihatnya sepotong tubuh melintas. Dia baru saja hendak membalikkan tubuh, meninggalkan tempat itu, ketika tiba-tiba…bruk! Dia menabrak seseorang.
“M-maaf…” pemuda bertampang indo itu tersenyum. Seperti… Dinda teringat dengan mimpi yang baru saja dia alami. Buru-buru dia memungut buku yang terserak di lantai. Gegas langkah kaki dia ayun. Beberapa langkah kemudian dia menoleh. Pemuda bertampang indo itu melambaikan tangan ke arahnya,memanggilnya hiiyyyy… dinda makin mempercepat langkahnya. Tapi pemuda itu masih terus membuntuti. Aduh, gimana nih? Dinda berlari, secepat yang dia mampu. Baying-bayang mimpi tentang vampire yang baru dia alami, membuat keringat membutir di wajahnya. Pada sebuah belokan Dinda berhasil melepaskan diri dari kuntitan pemuda itu. Aneh…ke mana tukang ojek yang biasa mangkal di depan fakultasnya? Dinda tak melihat satu motor pun yang terparkir di sana. Uh…kemana sih tukang ojek itu?
Dinda mengambil ponsel dari dalam tasnya. Memilih menu phonebook. Nama Nina muncul di display HPnya. Cepat dia menghubungi HP Nina. Suara mesin operator yang menyapa. Nina memang jarang mengaktifkan ponselnya di malam hari. Aha, Fia! Anak itu hamper tak pernah menonaktifkan ponselnya. Dinda segera menghubungi nomor sahabatnya itu. “Alhamdulillah..” tersambung! “Ada apa Din?” “Duh gawat nih, Fi! Aku dikuntit!” “Sama siapa?” “Vampir!”
“Hahaha… jangan becanda gitu deh. Bukannya kamu yang aku denger,gak percaya sama gossip tentang vampire yang suka berkeliaran di kampus kita pada saat malam hari?” “Ya, belum tentu vampire juga sih…kamu bias jemput aku gak?” “Ogah ah, aku udah mau tidur.” “Yah tega amat kamu Fi…” “Bodo ah! Makanya jadi orang jangan suka takabur!” “Tapi Fi…” “Tuuuuttttt…!!! “Maaf tegur seseorang dari arah belakang. Dinda menoleh. Pemuda indo itu sudah berdiri di hadapannya. Mata Dinda membeliak lebar. Ponselnya terjatuh. Dia membeku di tempatnya berdiri, seolah terpaku pada bumi. Dia tak mampu melangkahkan kakinya.
“Jangan mas vampire… darah saya pahit. Jangan dihisap…”mohon Dinda. Pemuda itu mengerutkan keningnya. Heran melihat tingkah gadih di depanya. “Kamu kenapa?” “Ampun mas vampire..saya belum mau mati…” mendengar ucapan Dinda, tubuh pemuda itu berguncang, tertawa kegelian. Dinda menjadi kebingungan. “Kok malah ketaw a sih?” protesnya, seolah lupa pada rasa takut yang baru saja dialami. “Buku,”kata pemuda itu, “buku yang kamu bawa itu punya aku.” “Hah???” Dinda melihat buku ditangannya.”Ups.. jadi kamu bukan vampire ya?” Tanya Dinda polos.
“Huahahahha…”pemuda itu kembali tertawa, setelah menerima bukunya dari tangan Dinda, sebelum melangkah meninggalkan gadis itu sendiri. “Hei tunggu!” Dinda mengejar pemuda itu. “Kenapa?” “Kamu belum jawab pertanyaan saya.” Pemuda itu tidak menjawab. Hanya tertawa. Dinda menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Hei tunggu!” Dinda mengejar pemuda itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar